Pelintiran Media Terkait Hukum Cambuk Aceh

Gary Almas Samaita



Beberapa waktu yang lalu, saya terlibat sebuah perbincangan yang sangat menarik di dunia maya. Perbincangan ini dipicu adanya beberapa artikel yang menyinggung wanita korban pemerkosaan yang dihukum cambuk sembilan kali.

Ini artikelnya: 'Aceh Tetap Cambuk Korban Pemerkosaan'.

Gila! Bagaimana mungkin korban pemerkosaan malah kena hukuman? Bisa-bisa korban tidak berani melapor, karena toh kena hukuman juga. Pemerkosaan bisa-bisa makin marak!

Salah satu pelajaran yang sudah lama saya dapatkan dari trend pemberitaan di dunia maya: Jangan cuma baca judulnya aja!


Komentar anda terlalu cepat jika hanya membaca judul artikel belaka. Artikel tersebut membahas seorang wanita yang diperkosa oleh delapan orang setelah kedapatan tengah berduaan dengan pria yang bukan muhrimnya atau bahasa sederhananya, khalwat alias mesum. Jika biasanya praktik mesum yang kena grebek aparat dihukum dengan ceramah di kantor polisi atau, Aceh sudah lebih maju dengan melarang secara hukum plus aktif menindak praktik mesum ini. 

Semenjak tahun 2003, Pemerintah Aceh sudah mengesahkan Qanun(peraturan daerah) yang mana Qanun nomor 14 mengatur secara spesifik larangan praktik mesum. Setiap pelanggaran diancam dengan pasal 22:


(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4, diancam dengan ‘uqubat ta’zir berupa dicambuk paling tinggi 9 (sembilan) kali, paling rendah 3 (tiga) kali dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), paling sedikit Rp 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah).
(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 diancam dengan ‘uqubat ta’zir berupa kurungan paling lama 6 (enam) bulan, paling singkat 2 (dua) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah), paling sedikit Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah). 

Tentunya sudah jelas mengapa si Wanita tetap dicambuk padahal ia menjadi korban pemerkosaan. Karena nyatanya, sebelum menjadi korban, ia tengah melakukan praktik mesum yang dilarang di Aceh. Bahkan berdasarkan pengakuan si Wanita di artikel Hidayatullah.com, ia juga telah berkali-kali melakukan hubungan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa hukuman cambuk dijatuhkan bukan karena pemerkosaan, melainkan karena perbuatan mesum si Wanita dengan si Pria.

Hal yang menarik, bahwa ternyata tidak semua media secara gamblang menceritakan apa adanya. Bahkan ada artikel yang dari sudut pandang saya melakukan provokasi negatif. Contohnya artikel dari BBC, yang memberikan judul, 'Aceh Tetap Cambuk Korban Pemerkosaan'. Judul ini sangat provokatif. Bagi jurnalis, tentu judul artikel ini sangat bagus untuk mengundang rasa penasaran pembaca. "Bagaimana mungkin korban pemerkosaan justru dihukum? Bukan dilindungi?" mungkin itu yang pembaca rasakan.

Sayangnya di dunia maya kebiasaan untuk membaca lebih dalam-tidak hanya dari judul-belum menjadi kebiasaan semua pengguna. Sehingga kemungkinan terjadinya salah paham menjadi lebih besar. Ingat kembali, 'Jangan cuma baca judulnya!'

Ada lagi artikel dengan video yang lebih 'hebat', yang entah ada tujuan apa, memotong alasan sebenarnya korban pemerkosaan dijatuhi hukuman cambuk. Artikel tersebut berasal dari Metronews, dengan judul 'Korban Pemerkosaan Dihukum Cambuk Oleh Pengadilan Syariah Aceh', sama provokatifnya dengan artikel dari BBC. Hanya saja di artikel ini, lebih banyak informasi yang hilang.

Menariknya, di video tersebut, ada dua orang yang tengah dijatuhi hukuman cambuk. Meski dalam video disebutkan bahwa pelaku pemerkosaan juga dikenakan hukuman cambuk, tetapi saya lebih yakin bahwa pria yang dicambuk itu adalah si Pria, pasangan si Wanita.

Kedua artikel ini hanya sedikit dari banyaknya artikel yang menyorot hukuman cambuk ke korban pemerkosaan, meskipun mungkin penulis artikel sudah tahu alasan dibalik hukuman cambuk tersebut. 

Sejauh ini baru artikel Hidayatullah saja yang cukup gamblang menceritakan perkara tersebut. Saya masih mencari artikel dari media lain yang mungkin lebih gamblang untuk memvalidasi artikel dari Hidayatullah tersebut. Saya mencoba tetap berpegang pada pelajaran lain dalam menerima pemberitaan di dunia maya: Jangan cuma baca dari satu redaksi saja!

Menurut saya, sorotan 'hukuman cambuk ke korban pemerkosaan' dapat menumbuhkan bibit-bibit untuk menolak Qanun di masyarakat Aceh. Padahal, ada kebenaran yang tersembunyi dan tak sepenuhnya dikabarkan. Apakah ini kesengajaan? Itukah tujuan media sebenarnya? Wallahu a'lam.

Saya mendukung pelaksanaan Qanun di Aceh sebagai bentuk kearifan lokal. Saya akui bahwa pelaksanaan Qanun masih dapat lebih baik dari saat ini. Usianya sebagai peraturan yang dilindungi Undang-undang masih muda, 11 tahun. Masih perlu banyak perbaikan, terutama penegak hukumnya.

Qanun 14 tahun 2003 patut didukung sebagai salah satu upaya mewujudkan masyarakat madani, walaupun belum cukup mewakili firman Allah QS. An Nur: 2 yang menyebutkan:
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.
Pelaksanaan Qanun di Aceh sudah selayaknya dihormati, sama seperti kewajiban pendatang Bali non-Hindu untuk menghormati adat di sana. Bukankah kita dituntut untuk menjaga toleransi? 

*Icon made by Freepik from www.flaticon.com is licensed under CC BY 3.0

Tidak ada komentar:

Posting Komentar