Tapi, ada kenangan-kenangan masa kecil yang secara kuat tertanam di benak kita. Sebagian kenangan bisa mempengaruhi bagaimana perilaku kita saat ini, menjadi impian di masa depan, bahkan mungkin membantu anda memilih prinsip hidup. Saya yakin anda pasti punya.
Ada satu kenangan masa kecil yang tertanam kuat dalam benak saya. Kenangan ini bukanlah kenangan yang menyenangkan, namun dipenuhi kekecewaan bahkan rasa mendendam.
Kenangan Berbuah Dendam
Tahun 2006, kala itu saya masih berstatus pelajar SMP kelas 9 semester pertama, di SMPN 1 Bogor. Mata pelajaran Biologi kelas F, kala itu diajar oleh Ibu Purnama Pasaribu. Beliau memberikan tugas observasi pertumbuhan caisim atau sawi hijau selama satu bulan. Kondisi pertumbuhan yang diamati adalah kondisi memperoleh cahaya dan tidak. Kami diminta mengukur ketinggian tanaman, jumlah daun, serta kondisi lainnya. Sederhana sekali. Saya pun bersemangat untuk menanam, kalau bisa sampai panen!
Tapi bagi saya yang buta bercocok tanam saat itu, rasanya sudah seperti mahasiswa teknik elektro yang memperoleh topik tugas akhir untuk teknik lingkungan. Saya hanya pelajar bodoh kala itu, bukannya melakukan hal yang tepat, saya justru melakukan kesalahan berlipat-lipat. Praktik yang saya lakukan penuh dengan kesalahan fatal:
Kesalahan pertama, saya tidak memilih biji.
Kesalahan kedua, saya tidak melakukan persemaian.
Kesalahan ketiga, saya tidak menanam dalam jumlah besar, satu kondisi satu biji.
Kesalahan keempat, saya menaruh pot pada tempat yang terik.
Kesalahan kelima, saya tidak menjaga kadar air pada pot.
Kesalahan keenam, saya tidak menakar pupuk cair.
Kesalahan utama, saya tidak mengevaluasi dan terus mengulang enam kesalahan tersebut hingga 7 kali. Ya, TUJUH KALI!(Saya tidak yakin dengan jumlah ini. Saya hanya ingat kalau tidak tujuh ya sebelas kali.)
Ketujuh praktik variabel kontrol memperoleh cahaya berakhir dengan kegagalan. Ada yang mati layu, ada pula yang menggenaskan, ada juga yang hanya sekedar tertanam tanpa pertumbuhan.
Melihat saya buntu sejauh itu, Ayah saya membantu saya dengan memberi masukan: "Tulis laporan penelitianmu apa adanya." Tak ada manipulasi yang saya lakukan. Gagal tujuh kali pun saya laporkan. Pada hari terakhir, saat kawan-kawan saya saling menunjukkan pot berisi Caisim yang mendekati panen, saya membawa laporan berisikan kegagalan yang membuat saya mendekati nilai rendah.
Kenangan ini membuat saya dendam. Dendam pada diri saya sendiri. Bagaimana saya bisa menghidupi keluarga saya kelak, jika menghidupi satu tanaman saja saya enggak mampu?
Dendam itu membawa saya melakukan banyak evaluasi. Satu evaluasi yang menurut saya menjadi akar dari permasalahan itu adalah ketiadaan informasi teknik bertanam yang tepat. Yah, kala itu saya hanyalah pelajar SMP yang bodoh. Saya tidak mencari informasi yang cukup dan menggampangkan cocok tanam, padahal orangtua saya bekerja di Kehutanan dan juga menggemari berkebun di pekarangan.
Dendam Menjadi Ambisi
Hanya butuh satu majalah dan satu artikel untuk memicu saya membalas dendam. Majalah IEEE Spectrum bertema Age of Plenty, yang membahas isu peranan teknologi dalam menghadapi krisis pangan dunia dan Artikel Axonigma soal Mirai, pabrik sayur Jepang yang memanfaatkan hidroponik dalam ruangan untuk produksi massal sawi hijau dalam waktu singkat. Dua hal itu menginspirasi dan membakar semangat saya untuk membalas dendam rasa kecewa saya di masa lalu.
Akhirnya pada 2015, Januari awal, belajar dari kesalahan, saya mengumpulkan informasi soal teknik bertanam, utamanya hidroponik. Kebetulan, Trubus menerbitkan edisi khusus yang membahas Hidroponik. Dari sana, saya memperoleh banyak referensi soal hidroponik, meski belum cukup untuk mencapai sistem yang saya ingin hasilkan.
Januari akhir, saya mengumpulkan material yang saya perlukan untuk mencoba praktik hidroponik. Toko Tani Jaya, Pasar Anyar menjadi referensi dari Ibu saya untuk mendapatkan semua kebutuhan material. Praktik pertama berhasil membuahkan hasil. Makan waktu empat hari, benih sudah siap untuk digunakan dalam Wick System. Sayang, saya tidak sempat melanjutkan, karena harus kembali ke Surabaya.
Februari awal, saya membawa sebagian kecil material untuk saya tanam di kosan. Kala itu cuaca tak menentu, badai menggerutu setiap waktu. Dua kali tanam dalam jumlah besar selalu gagal. Dua dari tiga bundel Rockwool yang saya gunakan lenyap. Entah terbawa badai atau dibegal tikus. Sisanya gagal bertahan akibat terjatuh dan akhirnya rusak di tangan yang tidak bertanggungjawab.
Februari akhir, saya mencoba kembali dan Alhamdulillah, masih bertahan hingga saat ini. Meski sempat terbengkalai beberapa hari akibat saya yang terlalu sering di kampus, masih ada yang mampu bertahan hingga sebesar ini:
Bukan tumbuh, tapi bertahan. |
Minimnya material, memaksa saya terhenti di persemaian. Belum ada supplier Surabaya yang bisa saya andalkan untuk memenuhi kebutuhan material. Kalau anda tahu dimana saya bisa peroleh semua kebutuhan hidroponik, mohon infokan ya :)
Kenangan yang dahulu sempat bikin frustasi, kini membuka mata bahwa ada potensi. Pangan akan selalu menjadi kebutuhan primer. Perkembangan teknologi yang membantu pemenuhan kebutuhan pangan sendiri belum dipandang serius oleh pemerintah. Impor jadi andalan, entah apakah karena ada kantong yang minta diberi asupan.
Bagaimanapun, dendam sudah terbalaskan. Namun, bukan berarti langkah ini akan terhenti. Dendam kini menjadi ambisi. Ambisi untuk meningkatkan kualitas pangan dan pertanian negeri dengan teknologi!
Jadi inget gagalnya eksperimen Biologi pas SMA buat numbuhin benih jagung. Lupa lagi neliti apaan, dan lupa lagi nulis laporan atau engga.
BalasHapusHidroponik nih emang mantap buat diterapin dalam urban farming. Saya juga barusan baca di majalah NatGeo soal revolusi hijau lewat pangan organik. Kalau diselidiki emang prospek pertanian ini menjanjikan apalagi lewat adanya ancaman krisis pangan di masa mendatang.
Wah, jagung.. Tingkat kesulitannya lebih tinggi.. :D
HapusSetuju, meski lahan sempit tetap bisa produksi pangan. Bisa bantu untuk tekan angka impor produk pertanian juga, jika dikoordinir dengan benar.